INDAHNYA SYUKUR

“Dan jika kamu menghitung-hitung ni’mat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
(QS. An Nahl : 18)
Kita selalu beranggapan bahwa segala sesuatunya terjadi dengan sendirinya atau kita menganggap bahwa segala sesuatu yang kita peroleh adalah karena hasil jerih payah kita sendiri. Anggapan ini merupakan kesalahan yang sangat fatal dan benar-benar tidak mensyukuri ni’mat Allah. Anehnya, kita yang telah menyatakan rasa terima kasih kepada seseorang karena telah memberi sesuatu yang remeh kepada kita, namun kita menghabiskan hidup kita dengan mengabaikan ni’mat Allah yang tidak terhitung banyaknya di sepanjang hidup kita. Setiap kita sangat memerlukan Allah dalam setiap gerak kehidupannya, dari udara untuk bernafas hingga makanan yang kita makan, dari kemampuannya untuk menggunakan tangan, hingga kemampuan berbicara, dari perasaan aman hingga perasaan bahagia. Meskipun kenyataannya demikian, kebanyakan kita tidak mampu mensyukuri keni’matan yang telah kita terima.

Kalau saja bukan karena kemahabesaran Allah SWT, hidup manusia pasti terasa hambar. Penciptaan manusia adalah puncak kreatifitas. Kreatifitas adalah gabungan dua unsur: fungsi dan keindahan. Tubuh seseorang tersusun dari air yang cukup untuk mengisi penuh 10 galon penampungan; minyak yang cukup untuk membuat berbatang-batang sabun; karbon yang cukup untuk membuat 9000 pensil; fosfor yang cukup untuk membuat 2200 pentol korek api; besi yang cukup untuk membuat pasak berukuran sedang; kalsium dan sedikit magnesium. Dari mana manusia mencukupkan diri dengan unsur-unsur yang diperlukan tubuhnya ini? “hendaklah manusia merenungkan makanannya”, begitulah yang tertera pada al-Qur’an. Q.S. Abasa ayat 24).

Manusia perlu air, namun kebutuhan airnya tidak hanya bisa dipenuhi air putih saja, tapi segala minuman dengan bermacam kelezatan rasa yang mengundang selera: jus, teh, es buah, minuman ringan dan lain-lain. Manusia perlu minyak yang dicukupi dengan mengkonsumsi makanan berlemak. Dan begitu seterusnya manusia memenuhi keperluan tubuhnya. Di sinilah letak indahnya hidup. Yang fungsional-fungsional untuk badan bisa disediakan oleh yang indah-indah. Yang indah-indah ini pun semakin indah dengan begitu kayanya seni masak memasak yang berbeda dari bangsa ke bangsa.
Di sinilah pula, letak kesempurnaan penciptaan manusia. Sistem fisiologisnya berbeda dari benda atau hewan. Kalau mobil ngambek tidak mau jalan, “perut” nya cukup diisi bensin atau solar dan ia akan kembali meraung begerak. Kalau sapi perlu makan, ia akan mencari rumput dan dedaunan. Tapi manusia jauh lebih kompleks dan lebih indah dari semuanya.

By design, manusia diberikan tingkat fungsional dan keindahan perangkat tubuh yang mengalahkan semua makhluk hidup ciptaan Tuhan. Kita diberi dua mata, tidak satu, agar bisa menangkap obyek tiga dimensi. Kita diberi dua telinga, tidak satu, agar bisa mendeteksi arah suara. Kita diberi dua kaki, tidak satu, agar bisa mempertahankan keseimbangan dalam gerak. Semuanya canggih dan indah sekaligus. “sungguh telah kami ciptakan manusia dalam bentuk yang paling sempurna”. (Q.S. at-Tin, 4)Allah SWT menyediakan ruang dan kondisi agar manusia bisa melanjutkan hidup. Jarak bumi dari matahari memungkinkan ada dan berlangsungnya kehidupan di planet ini. Satu jarak dari matahari, yang jika lebih dekat akan membuat makhluk hidup di atasnya akan terpanggang kepanasan; dan jika lebih jauh, akan membeku kedinginan. Diciptakan-Nya lintasan bumi berbentuk elips dengar gravitasi yang tepat terukur, tidak bundar, agar ia tidak tersedot atau terpental dari matahari yang juga berputar. Bulan dijadikan-Nya sebagai satelit bumi untuk melindunginya dari serangan komet dan sejenisnya dan menjadikan kecepatan gerak putar bumi tetap stabil. Diberikan-Nya bumi, gaya gravitasi yang tepat, agar ketika berjalan kita tidak melayang atau tersedot.

Diatur-Nya alam dengan hukum-hukum yang pasti agar manusia bisa menatanya setelah hukum-hukum itu diketahuinya. Hukum-hukum yang memungkinkan manusia terbang melintasi benua dengan “burung besi”, menyeberang lautan dengan kapal-kapal besar, berbicara dengan kerabat yang berjarak ribuan kilometer dengan telepon genggam, melintasi dua tepi sungaiatau selat dengan jembatan layang, membendung air dengan dam-dam besar untuk pertanian, mesiasati keterbatasan lahan dengan gedung-gedung pencakar langit. “Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezki untukmu; dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai. dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu malam dan siang”. (Q.S. Ibrahim, 32-33).

Pernah ada nada pesimis bahwa manakala laju pertambahan penduduk bumi terus bergerak, bumi tidak akan mampu lagi menampung manusia; alam tidak lagi cukup memberi persediaan makanan, namun pesimisme itu toh tak terbukti. Penduduk bumi kini telah lebih dari enam milyar orang, namun bumi masih layak huni dan masih menyediakan bahan makanan. Kelaparan terjadi bukan karena sumber alamnya kurang, namun karena keserakahan sebagian manusia yang mengambil lebih dari kebutuhannya dengan mengorbankan orang lain. Allah maha adil, semua sudah terukur dengan sangat teliti.

Setelah diciptakan dan diberi lingkungan yang menjamin keberlangsungan hidupnya, manusia tidak dibiarkan hidup tanpa arah. Sang Pencipta memberinya petunjuk. Apa perlunya hidup di muka bumi ini, apa tujuannya dan kemana akan kembali. Ibarat mobil, setelah diproduksi, diisi bahan bakarnya, dipastikan layak jalan, pengemudinya diberi peta tujuan hendak pergi kemana agar tidak berputar-putar dan tersesat jalan.

Manusia hidup di dunia tidak selamanya; tidak juga seperti tumbuhan atau hewan yang lahir, tumbuh, mati dan selesai. Manusia diberi arah, hidayah, petunjuk kemana menuju. Visi macam inilah yang membuat hidupnya berguna, menanjak naik dari sekedar entitas fisiologis yang tidak beda dengan makhluk hidup yang lain, menjadi makhluk rasional, menanjak ke makhluk yang spiritual. Ibnu Khaldun dengan sangat cantik merunut tingkat-tingkat kehidupan dari tumbuhan tingkat rendah, tumbuhan tingkat tinggi, hewan tingkat rendah, hewan tingkat tinggi, manusia tingkat rendah dan manusia tingkat tinggi.

Seperti para Nabi dan Rasul yang meskipun tetap dalam kemanusiaannya, berjalan di pasar, bergaul dengan sesama manusia, namun spiritnya bersambung dengan alam yang lebih tinggi; alam darimana wahyu datang memberi petunjuk. Wahyu yang kemudian diabadikan dalam al-Qur’an dan Sunnah yang menjadi sumber petunjuk bagi manusia agar hidupnya tidak berputar-putar sia-sia, tapi bergerak memiliki visi dan tujuan: menebar amal saleh di dunia dan meraih balasan baik di akherat.

Karena tiga karunia inilah: karunia diberi hidup (ni’mat al-iijad), karunia diberi segala fasilitas yang menjamin keberlangsungan hidup (ni’mat al-imdaad), dan karunia diberi petunjuk dalam hidup agar tidak sia-sia (ni’mat al-huda wa ar-rasyaad), manusia mesti bertima kasih (syukr) kepada Allah SWT.

Syukur secara bahasa adalah nampak bekas makan pada badan dengan jelas, artinya: apabila nampak kegemukan karena makan melebihi takarannya. Adapun dalam tinjauan agama syukur adalah: Nampak pengaruh ni’mat Allah SWT atas seorang hamba melalui lisan dengan cara memuji dan mengakuinya; melalui hati dengan cara meyakini dan cinta; serta melalui anggota badan dengan penuh ketundukan serta ketaatan nya. Ada juga yang mendefinisikan syukur dengan makna lain seperti :

1.      Mengakui ni’mat yang diberikan dengan penuh ketundukan.

2.      Memuji yang memberi ni’mat atas ni’mat yang diberikannya.

3.      Cinta hati kepada yang memberi ni’mat dan anggota badan dengan ketaatan serta lisan dengan cara memuji dan menyanjungnya.

4.      Menyaksikan keni’matan dan menjaga keharaman.

5.      Mengetahui kelemahan diri dari bersyukur.

6.      Menyandarkan ni’mat tersebut kepada pemberi dengan ketenangan.

7.      Engkau melihat dirimu orang yang tidak pantas untuk mendapatkan ni’mat.

8.      Mengikat ni’mat yang ada dan mencari ni’mat yang tidak ada.

Yang jelas syukur adalah sebuah istilah yang digunakan pada pengakuan akan sebuah ni’mat. Karena mengetahui ni’mat merupakan jalan untuk mengetahui Dzat yang memberi ni’mat. Oleh karena itu Allah SWT menamakan Islam dan iman di dalam Al-Qur`an dengan syukur. Apabila seorang hamba mengetahui sebuah ni’mat maka dia akan mengetahui yang memberi ni’mat. Ketika seseorang mengetahui yang memberi ni’mat tentu dia akan mencintai-Nya dan terdorong untuk bersungguh-sungguh mensyukuri ni’mat-Nya.

Syukur memiliki tiga makna, pertama yaitu mengetahui adalah sebuah ni’mat. Arti dia menghadirkan dalam benak mempersaksikan dan memilahnya. Hal ini akan bisa terwujud dalam benak sebagaimana terwujud pada kenyataan. Sebab banyak orang yang jika engkau berbuat baik kepada namun dia tidak mengetahui. Gambaran ini bukan termasuk dari syukur. Kedua, menerima ni’mat tersebut dengan menampakkan butuh kepadanya. Dan bahwa sampai ni’mat tersebut kepada bukan sebagai satu keharusan hak bagi dari Allah SWT dan tanpa membeli dengan harga. Bahkan dia melihat diri di hadapan Allah SWT seperti seorang tamu yang tidak diundang. Ketiga, memuji yang memberi ni’mat. dalam hal ini ada dua bentuk yaitu umum dan khusus. Pujian yang bersifat umum adalah menyifati pemberi ni’mat dengan sifat dermawan kebaikan luas pemberian dan sebagainya. Pujian yang bersifat khusus adalah menceritakan ni’mat tersebut dan memberitahukan bahwa ni’mat tersebut sampai kepada dia karena sebab Sang Pemberi tersebut.

Syukur bisa dilakukan dengan hati, lisan dan anggota badan. Adapun dengan hati adalah berniat untuk melakukan kebaikan dan menyembunyikan pada khayalak ramai. Adapun dengan lisan adalah menampakkan kesyukuran itu dengan memuji Allah SWT. Adapun dengan anggota badan adalah mempergunakan ni’mat-ni’mat Allah SWT tersebut dalam ketaatan kepada-Nya dan menjaga diri dari bermaksiat dengannya. Termasuk kesyukuran terhadap ni’mat kedua mata adalah dengan cara menutup tiap aib yang dilihat pada seorang muslim.

Syukur memiliki tiga tingkatan, pertama, bersyukur karena mendapatkan apa yang disukai. Tingkat syukur ini bisa juga dilakukan semua orang, baik orang Islam maupun non Islam. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha telah menulis surat kepada Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu: “Sesungguh tingkatan kewajiban yang paling kecil atas orang yang diberi ni’mat adalah tidak menjadikan ni’mat tersebut sebagai jembatan untuk bermaksiat kepada-Nya”. Kedua, mensyukuri sesuatu yang tidak disukai. Orang yang melakukan jenis syukur ini adalah orang yang sikap sama dalam semua keadaan sebagai bukti keridhaannya. Bersyukur atas sesuatu yang tidak disukai lebih berat dan lebih sulit dibandingkan mensyukuri yang disenangi. Oleh sebab itulah syukur yang kedua ini di atas jenis syukur yang pertama. Syukur jenis kedua ini tidak dilakukan kecuali oleh salah satu dari dua jenis orang, seseorang yang semua keadaan sama. Arti sikap sama terhadap yang disukai dan tidak disukai dan dia bersyukur atas semua sebagai bukti keridhaan diri terhadap apa yang terjadi. Ini merupakan kedudukan ridha. Seseorang yang bisa membedakan keadaannya. Dia tidak menyukai sesuatu yang tidak menyenangkan dan tidak ridha bila menimpanya. Namun bila sesuatu yang tidak menyenangkan menimpa dia tetap mensyukurinya. Kesyukuran sebagai pemadam kemarahan sebagai penutup dari berkeluh kesah dan demi menjaga adab serta menempuh jalan ilmu. Karena sesungguh adab dan ilmu akan membimbing seseorang untuk bersyukur di waktu senang maupun susah. Tentu yang pertama lebih tinggi dari yang kedua. Ketiga, seseorang seolah-olah tidak menyaksikan kecuali Yang memberi keni’matan. Arti bila dia melihat yang memberi keni’matan dalam rangka ibadah dia akan menganggap besar ni’mat tersebut. Dan bila dia menyaksikan yang memberi keni’matan karena rasa cinta niscaya semua yang berat akan terasa manis baginya.

 

Manusia dan SyukurKita telah mengetahui bahwa syukur merupakan salah satu sifat yang terpuji dan sifat yang dicintai oleh Allah SWT. Akan tetapi tidak semua orang bisa mendapatkannya. Arti ada yang diberi oleh Allah SWT dan ada pula yang tidak. Manusia dan syukur terbagi menjadi tiga golongan, Pertama, Orang yang mensyukuri ni’mat yang diberikan oleh Allah SWT. Kedua, Orang yang menentang ni’mat yang diberikan alias kufur ni’mat. Ketiga, Orang yang berpura-pura syukur padahal dia bukan orang yang bersyukur. Orang yang seperti ini dimisalkan dengan orang yang berhias dengan sesuatu yang tidak dia tidak miliki.

 

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Translate »