Indahnya Maaf

maafPerkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun. (QS. Al Baqarah : 263)

Salah, hal yang pasti pernah dilakukan setiap manusia. Semua orang pasti pernah melakukan kesalahan, kekhilafan, dan kealpaan sehingga manusia itu menjadi tempat bersemayam kesalahan. Hanya bergantung pada kualitas dan kuantitas kesalahan itu sendiri. Kualitas artinya menyangkut pada kadar atau berat, sedangkan soal kuantitas menyangkut banyak atau seringnya. Adapun segala besaran kesalahan itu ada cara dan alamat penyesalannya untuk seseorang memperbaiki agama.

Dalam hal hubungan dengan Allah SWT, perbaikan diri dalam melepas kesalahan itu adalah melalui jalan pertaubatan, memohon ampun kepada-Nya yang disikapi oleh rasa penyesalan dan berdosa, lalu ditindaklanjuti dengan proses penghentian pekerjaan yang dipandang salah itu. kemudian melepas diri untuk tidak lagi melakukan perbuatan serupa di kemudian hari.

Dalam Islam, satu-satunya kesalahan yang tidak terampuni adalah berbuat syirik, yakni membandingkan sesuatu untuk disetarakan dengan Allah dan menjadi sesembahan. Akan tetapi, kapankah seseorang itu berlaku syirik sehingga masuk dalam kategorisasi musyrik, agaknya patut ditinjau dulu. Artinya, perbuatan syirik itu tidak serta merta bisa kita tempelkan pada setiap orang. Tatkala belum sampai pengetahuan tentang hal ihwal syirik sementara ia kadung melakukannya, maka tentu Allah Azza wa Jalla, memberikan tempat dan ruang bagi “si pelaku syirik itu” untuk diampuni.

Seseorang baru pantas dikatakan musyrik apabila ia telah mengetahui mana-mana saja batasan dan wilayah kemusyrikan itu. Di sinilah perlunya peran pengajaran agama yang merupakan besaran dari informasi ilahiah itu disampaikan. Maka para ustadz pun menyeru, bahwa tatkala seseorang telanjur berbuat syirik agar yang bersangkutan melakukan taubatan nasuha.

Tidak hanya dalam hubungan dengan Allah, pernahkah kita berbuat salah kepada orang lain dan anak sendiri hingga meminta maaf kepada orang tersebut? Bahkan pernahkah kita meminta maaf kepada anak-anak sendiri? Jika dilakukan jajak pendapat, rasa-rasanya yang menjawab “Ya” hanya sedikit. Mungkin sebagian besar masyarakat kita malah akan terheran-heran kalau ada yang bertanya demikian kepadanya, karena bagaimana mungkin orang tua meminta maaf kepada anaknya.

Ada satu hal yang menarik perhatian dalam suatu acara akad nikah. Yaitu pada saat seorang ayah memberikan sambutan dan nasehat untuk putrinya, “Saya atas nama ayahmu dan juga atas nama ibumu dengan ini mengikhlaskan dan merestui pernikahan ananda. Sebagai orang tua, kami meminta maaf kepada ananda atas segala kekurangan dan kesalahan yang telah kami perbuat selama mendidik dan mengasuhmu sejak kecil hingga saat menyerahkan tanggungjawab itu kepada suamimu”.

Yang hadir dan menyaksikan peristiwa tersebut tampak terpukau dan terbawa perasaan mendengar ucapan sang ayah kepada putrinya yang saat itu baru saja melangsungkan akad nikah. Sambil mengalirkan air mata sang ayah dan ibu mengantarkan putrinya ke pelaminan.

Dalam tradisi masyarakat kita yang lazim ditegakkan adalah prinsip patron dan clien (atasan-bawahan, bapak-anak). Orang tua adalah pemberi titah yang tidak boleh dilanggar oleh anak-anaknya. Anak wajib menurut, dan dia pun terbiasa enggan untuk melanggar atau mengkonfrontir segala apa yang jadi titah orang tuanya.

Orang tua memang selalu berada pada pihak yang “benar” dan “dimenangkan”, sementara anak berada di pihak yang “salah” dan cendrung “keliru”. Karena tradisi itu pula jarang tampak, orang tua meminta maaf kepada anaknya, meski ia sadar bahwa ia telah melakukan kesalahan, apalagi kalau memang si orang tua tak merasa “bersalah” atau “khilaf’ sama sekali.

Lihat saja pada saat lebaran, selalu yang meminta maaf adalah anak atau yang muda terlebih dahulu. Dan lazim pula saat lebaran pihak yang merasa dituakan merasa “tersinggung berat” saat kerabatnya yang lebih muda tidak hadir atau tidak mengcapkan selam lebaran dan meminta maaf terlebih dahulu, walau hanya via telepon.

Bila kita melihat dengan dari sudut pandang agama Islam, meminta maaf atau mengakui kesalahan itu tidak diukur dengan usia dan status, mau tua atau muda, mau anak atau orang tua, atasan atau bawahan, majikan atau pembantu. Mana yang yang lebih dahulu mengulurkan tangan dan mengucapkan maaf, maka itulah seorang ksatria. Bersabar dan memberi maaf lebih baik daripada mengambil pembalasan.

Disamping meminta maaf kepada manusia adalah bagian dari jalan bertaubat, tetapi meminta maaf juga mempunyai hikmah yang lain, yang diantaranya adalah usaha untuk menghindari terputusnya tali kasih-sayang (silaturrahim) antar sesama. Karena memutus tali silaturrahim itu adalah haram dan sangat dibenci oleh Allah SWT. Maka dari itu menyambung dan memeliharanya adalah suatu keharusan dan wajib hukumnya.

Itu pulalah kiranya mengapa Allah SWT tidak akan memaafkan seorang hamba yang khusyu’ memohon keampunan-Nya atas kesalahan terhadap manusia, sebelum ia meminta maaf atas kesalahan dan kekhilafan tersebut diantara sesama mereka. Do’anya hanya akan menjadi sia-sia. Lebih dari itu semua, memberi maaf dan meminta maaf adalah sarana utama bagi seorang hamba dalam rangka mendekatkan dirinya pada ketaqwaan. Sebagaimana firmanAllah SWT “… dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa“. (QS. Al Baqarah : 237).

Menjadi seseorang yang gemar meminta maaf dan memberi maaf adalah ciri seorang muslim. Seberapapun besar kesalahan orang terhadap kita, lalu kita beri kesempatan orang memperbaiki diri dengan pemberian maaf kita itu adalah jauh lebih utama daripada menyimpannya, apalagi sampai bersiasat untuk membalas dendam.

Dan salah satu ciri orang yang bertakwa yang akan mendiami surga Allah adalah orang gemar memberi maaf. Firman Allah SWT:

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan“. (QS. Ali Imran : 133-134).

Namun perlu juga diperhatikan, bahwa meminta atau memberi maaf harus disampaikan dengan tulus penuh keikhlasan. Ego dan gengsi harus dilepaskan. Manakala meminta maaf tidak diiringi dengan ketulusan dan kaikhlasan, maka selamanya pengaruh positif dari meminta atau memberi maaf itu tidak akan dapat dirasakan pengaruhnya. Bahkan sebaliknya hanya akan menambah semangat bermusuhan dan balas dendam.

2 comments

    • Panji on 27 Mei 2013 at 23:45
    • Balas

    Laa Tusyrik Billah

    1. Makasih mas Panji komennya..diharapkan mampir di tulisan lainnya..Hεε³ hε:p :Dε³ hεε³˚˚⌣˚ 🙂

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Translate »