NAFSU KEKUASAAN

“Negeri akhirat itu Kami berikan kepada mereka yang tidak menghendaki ketinggian dan membuat kerusakan dimuka bumi“ ( QS. Al Qashas : 83 ).

Dalam Islam, kepemimpinan dan kekuasaan adalah sebuah amanah yang harus dipertangungjawabkan baik kepada manusia maupun kepada Allah. Dalam sebuah hadis dijelaskan : “ Allah akan bertanya kepada setiap pemimpin apakah telah menjalankan tugas dan tanggungjawab kepemimpinannya atau mensia-siakan tugas tersebut “ ( Riwayat Ibnu Hibban ) . Suatu amanah dapat dijalankan dengan baik, jika sipenerima amanah mendapatkannya dengan penuh kesadaran akan tugas dan tanggungjawab, sebagaimana pesan nabi kepada Abu Dzar : “ Wahai Abu Dzar, engkau adalah pribadi yang lemah, sedangkan kekuasaan itu adalah amanah, dan kekuasaan itu akan menjadi penyesalan dan kehinaan di hari akhirat, kecuali mereka yang dapat menjalankannya dengan baik “ ( riwayat Muslim ). Abu Dzar adalah sahabat yang sangat rajin beribadah, tetapi Nabi tidak memberikan apapun jabatan kepemimpinan kepadanya, sebab seorang pemimpin bukan harus mempunyai kebaranian dalam kepeimpinan sedangkan Abu Dzar walaupun rajin beribadah, tetapi beliau lemah dalam sifat-sifat yang diperlukan bagi seorang pemimpin seperti keberanian, dan lain sebagainya. Seorang pemimpin mempunyai syarat yang lebih dari seorang pekerja, pegawai, dan orang biasa.

Disamping syarat keberanian dan keilmuan, kepakaran dan manajemen, maka ada syarat lain yang juga penting dipunyai oleh seorang pemimpin, yaitu syarat tidak mudah terpengaruh oleh hawa nafsu, baik nafsu dunia, nafsu kekayaan, nafsu kekuasaan dan lain sebagainya. Sebab jika seseorang mempunyai syarat kepemimpinan dzahir seperti keilmuan, keberanian tetapi tidak mempunyai syarat batin, maka kepemimpinan tersebut akan dipakai untuk mencari nafsu serakah baik nafsu kekayaan ataupun nafsu kekuasaan. Oleh sebab itu sejak dini, Rasulullah mengantisipasi umatnya jangan sampai memilih pemimpin yang sejak awal sudah menunjukkan nafsu kekuasaan dalam dirinya. Sebab pemimpin yang dapat menjalankan tugas dnegan baik, adalah pemimpin yang mengambil kepemimpinan dengan penuh kesadaran, dan tanggunmgjawa bukan mereka yang mendapatkannya dengan nafsu dan emosi. Rasulullah pernah bersabda kepada sahabat Abdurahman bin Samrah : “ wahai Abdurahman bin Samrah, janganlah engkau meminta kekuasaan, sebab jika engkau diberikan tanpa meminta, maka engkau akan ditolong (Allah) dalam menjalankannya, tetapi jika engkau meminta kekuasaan tersebut ( dengan nafsu ), maka engkau telah menjadi wakil ( hawa nafsu ). Hadis diriwayatkan oleh Bukahri dan Muslim. Hadis yang lain juga menguatkan hal ini : “ Barangsiapa yang meminta kekuasaan, maka dia telah menjadi wakil atas hawa nafsunya, dan barangsiapa yang diberikan kepadanya kekuasaan ( tanpa meminta ) maka malaikat akan turun kepadanya untuk menolongnya dalam kepemimpinannya “ ( Hadis riwayat Abu Daud, Tirmidzi ). Peringatan Rasulullah ini bermakna, bahwa memilih seorang pemimpin jangan karena janji dan kampanye yang dilakukannya, tetapi karena melihat prestasi kerja dan kepribadian yang telah dilakukannya selama ini. Sebab jika seseorang telah memulia kepemimpinan dengan nafsu, maka akhirnya kepemimpinan itu akan dijalankan dnegan nafsu, sehingga tanpa kampanye sebenarnya rakyat sudah dapat menentukan pillihannya sebab mereka, sebab pilihan berdasarkan kepada “ track record “, perjalanan hidupnya di tengah masyarakat.

Jika seseorang telah memiliki nafsu kekuasaan dalam dirinya, maka nafsu itu bukan saja akan merusak pribadinya, tetapi juga akan meningkat menjadi nafsu yang lebih berbahaya yaitu menjerumuskan rakyatnya kepada nafsu liberalisme, militerisme, permisisivisme ( serba boleh ), dan lain sebagainya. Menurut Imam al Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin menyatakan bahwa nafsu kekuasaan itu ada beberapa tingkat yaitu : hubbul istiela ( nafsu ingin menaklukkan ), hubbul isti’la ( nafsu ingin ingin menundukkan orang lain ), takhsis ( nafsu meminta hak pregroratif ), dan hubbul isti’bad ( nafsu memegang seluruh kekuasaan ditangannya, otoriter ).

Hubbul Istiela adalah nafsu ingin memiliki kebesaran, kehebatan baik dengan ilmu pengetahuan ,  dengan kekuatan materi, dan penaklukan hati manusia. Dalam mengaplikasi nafsu ini, pemimpin akan menunjukkan kehebatannya dalam ilmu pengetahuan, pengauasaan alam, darat, laut, dan udara. Nafsu ini juga dapat dilakukan dengan penaklukan kekuatan yang terdiri dari benda materi seperti emas dan perak ( harta kekayaan ), barang tambang , asset alam seperti hutan, flora dan fauna. Nafsu ini akhirnya akan berusaha menguasai manusia dengan mengeksploitasi tenaga manusia sebagai pegawai, buruh, dan lain sebagainya.

Jika seorang pemimpin telah memiliki nafsu istiela ( penaklukan ), maka dia akan naik kepada nafsu kedua yaitu nafsu Isti’la ( nafsu ingin menundukkan ). Artinya seorang pemimpin setelah menunjukkan kemampuannya, kehebatannya, dalam penguasaan ilmu, kekayaan, dan peminat, maka dia akan berusaha agar segala sesuatu itu akan tunduk dibawah perintahnya, sehingga tidak boleh ada seorangpun yang dapat mencegahnya, dan menyainginya. Inilah yang disebut dengan hubbul isti’la ( keinginan ingin menundukkan segala sesuatu yang ada dibawah perintahnya ).

Jika seorang pemimpin telah berhasil menundukkan segala sesuatu baik itu kekayaan Negara, kekayaan alam, loyalitas pegawai dan rakyat, maka si pemimpin akan membuat peraturan-peraturan yang memberikan kepadanya dan kroni-kroninya hak-hak istimewa yang tidak didapat oleh yang lain. Inilah yang disebut dengan hubbut takhsis ( keinginan memiliki keistimewaan ), sehingga hanya pemimpin, kroni dan kelompok tertentu yang mendapatkan fasilitas dan prioritas.

Dengan keistimewaan tersebut, maka nafsu kekuasaan tersebut akan naik menjadi hubbul isti’bad (segala seuatu hanya tunduk dan melayan kepentingannya ). Hubhul isti’bad ini menjadikan seorang pemimpin menjadi dictator, otoriter, sehingga segala kekuasaan hanya berada ditangannya. Malahan menurut al Ghazali, tingkat inilah yang telah sampai kepada pribadi Firaun sewaktu dia berkata kepada rakyatnya : “ Aku adalah tuhanmu yang paling tinggi “.

Oleh sebab itu, jika seorang pemimpin pada awal pemilihan sudah memiliki nafsu kekuasaan, maka lambat laun nafsu kekuasaan itu akan meningkat menjadi nafsu penaklukan ( nafsu istela ) , kemudian nafsu itu meningkat menjadi nafsu ingin menundukkan ( hubbul isti’la )  , kemudian naik menjadi tingkat nafsu takhsis ( meminta keistimewaan ) dan terakhir meningkat menjadi nafsu isti’bad yang akan menjadikan pemimpin itu menjadi pemimpin  yang diktator dan otoriter. Akhirnya pemimpin itu menjadi pemimpin yang dzalim akibat nafsu kekuasaan dalam dirinya.

Kedzaliman pemimpin akibat nafsu kekuasaan tersebut akan merusak seluruh system kehidupan dalam masyarakat. Itulah makna daripada firman Allah : “  Negeri akhirat itu, kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. dan kesudahan yang baik itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa “ ( QS. Al Qashah : 83 ). Sikap tidak memiliki nafsu kekuasaan, tidak rakus dengan dunia, merupakan kunci kepemimpinan dalam islam, sehinga imam Ghazali dalam kitab “ Fadhaihul batiniyah “  menyatakan : “ Ada empat sifat yang menjadi syarat bagi sahnya kedudukan seorang pemimpin Negara yaitu : Najdah (mempunyai kekuatan dan wibawa ), Kifayah ( mampu menyelesaikan segala persoalan ), Wara’ ( bersih nafsunya dari keinginan dunia ), dan Ilmu, mempunyai ilmu penegtahuan. Semoga kita mendapatkan pemimpin yang tidak memiliki nafsu kekuasaan, tetapi rasa pengabdian dan tanggungjawab atas amanah yang diberikan. Fa’tabiru ya ulil albab.( Buletin Dakwah ISTAID-Medan/ Muhammad Arifin Ismail/Kuala Lumpur, 1 Juli 2009)

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Translate »